RealitaKita – Pornografi deepfake semakin mengkhawatirkan generasi muda di Korea Selatan. Deepfake adalah manipulasi digital pada video, suara, atau gambar orang asli, dan semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) generatif.
Presiden Korea Selatan, Yoon Tuk Seol, telah memerintahkan tindakan tegas untuk menangani kejahatan seks digital yang mayoritas menyasar kaum perempuan. Aplikasi pesan Telegram diduga menjadi salah satu platform utama penyebaran konten tersebut dan saat ini sedang dalam penyelidikan pihak berwenang.
Pihak kepolisian berkomitmen untuk secara agresif mengejar siapapun yang terlibat dalam pembuatan maupun penyebaran pornografi deepfake. “Video deepfake yang menargetkan individu menyebar dengan cepat di media sosial,” ujar Presiden Yoon dalam sebuah rapat kabinet.
Baca Juga:Samsung A06 Ponsel 1 Jutaan yang Bisa Blokir APK WhatsApp Berbahaya!Gree Hadirkan 4 Produk Teknologi Tinggi untuk Gaya Hidup Sehat
“Korban yang terdampak sebagian besar merupakan anak di bawah umur, sementara banyak pelaku yang teridentifikasi adalah remaja,” tambahnya, dikutip dari RealitaKita yang merujuk pada laporan Guardian, Jumat (6/9/2024).
Presiden Yoon menginstruksikan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus ini secara serius dan memberantasnya hingga tuntas. Berdasarkan data kepolisian Korea Selatan, sebanyak 297 kasus kriminal terkait pornografi deepfake dilaporkan dalam tujuh bulan pertama tahun 2024, meningkat dari 180 kasus pada tahun sebelumnya dan dua kali lipat dari tahun 2021. Dari 178 pelaku, 113 di antaranya adalah remaja.
Masalah ini dianggap jauh lebih serius. Sebuah grup obrolan di Instagram dengan 220 ribu anggota diduga memproduksi dan membagikan gambar deepfake perempuan, termasuk mahasiswi, guru, dan bahkan anggota militer.
Modus yang digunakan adalah mengambil foto dari Instagram, kemudian mengubahnya menjadi materi pornografi menggunakan teknologi canggih. Banyak wanita merasa terpaksa menghapus foto mereka dari media sosial untuk menghindari menjadi korban berikutnya.
“Kami merasa frustrasi dan marah karena harus membatasi diri di media sosial, padahal kami tidak melakukan kesalahan apapun,” ungkap seorang mahasiswi.
Kritik juga muncul terkait kinerja polisi yang dianggap sering mengabaikan laporan dari para korban. Selain itu, pelaku yang masih berusia remaja kemungkinan besar tidak akan mendapatkan hukuman yang berat.