Pojokan 195. Jungkir balik
“Mau dijelasin sampai jungkir balik pun, gak bakalan sampai. Pola pikirnya sudah kebalik”.
Ungkapan bagi yang mentog ketika menjelaskan duduk persoalan yang seharusnya, kepada pihak yang tak mau menerima atau mendengar argumennya.
Perbedaan sudut pandang yang menjadikan persepsi kebalik-balik dan pola pikir yang tak logis.
Baca Juga:Bangun Infrastruktur Kelistrikan, PLN Dukung Blanakan Jadi Sentra Perikanan Jawa BaratREKOMENDASI Ucapan Hampers Lebaran 2024 yang Penuh Makna dan Berkesan
Maka penjelasan apa pun akan mental dan tertumbuk pada mencari alasan pembenaran sendiri.
Bisa jadi ungkapan itu pas pula untuk yang sedang berperkara di Mahkamah Konstitusi dalam urusan sengketa Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Atau yang sedang berperkara di manapun atau dengan siapapun.
Bagi yang memperkarakan atau yang diperkarakan sama-sama memandang cara berpikir lawannya sudah koprol dan kebalik-balik.
Sehingga masing-masing akan berargumen menjelaskan posisinya hingga jumpalitan. Agar dianggap tidak kebalik alias benar.
Bagi sesiapapun, ada proposisi yang harus dilakukan (Is-Sein) sesuatu yang akan menjadi fakta.
Fakta yang menunjukkan bahwa proposisi yang dilakukan tersebut memiliki tujuan dan tindakan nyata.
Terlepas bahwa tindakan tersebut kadang bertentangan dengan “ought” yang melahirkan sebuah cita ideal yang digantungkan sebagai norma (sollen). “Is versus ought, sein versur sollen”.
Baca Juga:Sambut Lebaran! Begini Cara Tukar Uang Baru di Bank BRI 2024Pesona Unik dan Harga Kucing Caracal, Berikut Fakta Menariknya
Itulah yang selalu terjadi pada perilaku kita. Selalu dikotomis. Kelakuan yang selalu menentang dan bertentangan dengan norma.
Dan kita mencoba memanipulasi fakta agar sesuai dengan norma atau membuat aturan atau topeng yang mengaburkan kepentingan seolah sesuai dengan norma.
Biasanya awal mula kebaliknya pola pikir adalah manipulatifnya kepentingan dari fakta.
Antara “Is” sebagai “sein” yang selalu ingin dilakukan merujuk kepada kepentingan yang ingin diwujudkan dengan menggelar berbagai cara.
Berbalikan dengan keharusan untuk menselaraskan kepentingan dengan norma-nilai luhur sebagai “ought–sollen”.
Mencari pembenaran sebagai dalih yang selalu dan sering terjadi. Juga terbalik-balik mana yang harusnya menjadi “ought” mana yang menjadi “Is”.
Atau mana norma yang dilanggar dan mana fakta yang melanggar norma.
Semua itu soal pola pikir yang kebalik atau tak kebalik. Sebab apapun yang seharusnya menjadi “Is” atau “Ought” bergantung kepada cara berpikir rasional dan kepekaan nurani.